Skip to content

Biografi Tokoh Islam

May 10, 2011

IBNU TAIMIYAH

A. RIWAYAT HIDUP

  1. Keluarga dan Masa Kanak-Kanak

Taqiy ad-Din Ibn Taimiyyah[1] lahir pada hari senin tanggal 10 Rabi’al-Awwal tahun 661 H. bertepatan dengan tanggal 22 Juni 1263 M. di kota Harran, sebuah kota kecil di bagian utara Mesopotamia dekat ‘Urfa di bagian tenggara negara Turki. Nama lengkapnya adalah Taqiy ad-Din Abu al-Abbas Ahmad ibn Abd al-Halim ibn al-Imam Majd ad-Din Abi al-Barakat Abd al-Salam ibn Abi Muhammad ibn Abdullah ibn abi al-Qasyim ibn Muhammad ibn Khudr ibn Abdullah ibn Taimiyyah al-Harrani. Nama Taimiyyah dikenal sebagai sebuah nama keluarga dari etnis Kurdi meskipun ada pendapat lain yang mengaitkannya dengan nama tempat di dekat Tabuk.

Ibn Taimiyyah berasal dari keluarga intelektual yang islami serta dihormati dan disegani masyarakat luas pada masanya. Ayahnya bernama Syihab ad-Din Abd al-Halim ibn Abd al-Salam (w. 1284 M), seorang alim besar disamping sebagai khatib, Imam besar, guru tafsir dan guru hadits di Masjid Raya Kota Daamaskus juga sebagai Direktur Madrasah Dar al-Hadits al-Sukkariyah,[2] salah satu lembaga pendidikan Islam Mazhab Hambali[3] yang sangat maju dan bermutu pada masa itu. Kakeknya bernama Syaikh Majd ad-Din Abu al-Barakat Abd al-Salam ibn Abdullah (w. 1254 M), seorang alim terkenal dalam bidang tafsir, hadits, usul fiqh, fiqh, nahwu dan juga sebagai pengarang.[4] Sedangkan pamannya, al-Khatib Fahr ad-Din juga seorang alim terkenal dan pengarang yang produktif pada masanya.[5] Sementara itu adiknya, Syaraf ad-Din Abdullah ibn Abd al-Halim (w. 1329 M) dikenal sebagai alim yang ahli dalam bidang waris (faraidh), hadits, dan ilmu pasti (riyadhiyah).[6]

Ibn Taimiyyah sejak kecil dikenal sebagai anak jenius yang berkemauan keras dalam belajar, ikhlas dan rajin beramal serta rela berkorban dan selalu siap dalam perjuangan membela kebenaran. Ia juga mempunyai daya hafalan yang luar biasa. Ini terbukti sejak usia tujuh tahun sudah hafal seluruh Qur’an.[7]

  1. Masa Pendidikan

Ibn Taimiyyah memperoleh pandidikan di sekolah ayahnya dan lingkungan keluarga yang secara turun-temurun merupakan tokoh-tokoh intelektual. Di samping itu merupakan pusat pengetahuan dan kebudayaaan serta merupakan tempat berkumpulnya (halaqah) ulama-ulama besar dari berbagai mazhab.[8]

Di antara guru Ibn Taimiyyah yamg terkenal selain ayahnya adalah pamannya sendiri, yakni Syams ad-Din Abd ar-Rahman ibn Muhammad ibn Ahmad al-Maqdisi (w. 1277 M), seorang faqih ternama dan hakim agung pertama dari mazhab Hambali di Syiria, setalah Sultan Baybars (w. 1277 M) melakukan pembaruan di bidang peradilan.[9] Guru lainnya adalah  Muhammad Ibn Abd al-Qawiy ibn Badran al-Maqdisi al-Mardawi (w. 1301 M), seorang ahli hadits, fiqih,  nahwu dan mufti serta pengarang terpandang pada masanya.[10] Begitu pula aL-Manja’ ibn Usman ibn Sa’ad al-Tanawwukhi (w. 1297 M), ahli tafsir, nahwu, bahasa, sastra, sejarah dan kebudayaan.[11] Bahkan abu Zahrah menginformasikan seluruh guru Ibn Taimiyyah lebih dari 200 orang.[12]

Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri. Dia juga menguasai ilmu akidah, pakar ilmu tafsir, ahli dalam bidang hadits.

Ibn Taimiyyah sepanjang hidupnya konon tidak pernah menikah, dapat menyelesaikan study keagamaannya secara formal sebelum melewati usia 17 tahun dan dalam dalam usia yang sama telah mengarang kitab,[13] kemudian ketika berusia 20 tahun ia menjadi mufti.

  1. Masa Pengabdian dan Perjuangan

Dengan modal pengetahuan dan ketokohan yang handal, Ibn Taimiyyah mencurahkan hidupnya untuk beribadah kepada Allah dalam wujud menyelenggarakan pendidikan calon ulama, penulisan dan penyebaran karya-karya ilmiah serta terjun langsung dalam aktivitas sosial, politik, dan militer.

Pada tahun 692 H/ 1293 M. dalam usia 30 tahun Ibn Taimiyyah menulis buku Manasik al-Hajj. Setahun kemudian ( 693 H/1293 M), Ibn Taimiyyah mengajukan protes keras kepada pemerintah ketike keputusan hukuman mati Assaf al-Nasrani yang telah menghina Nabi Muhammad saw. dicabut oleh Gubernur Syiria setalah Assaf memilih masuk Islam. Akibatnya Ibn Taimiyyah dimasukkan ke dalam penjara Adrawiyah di Damaskus. Namun pengalaman pertamanya di penjara, dia manfaatkan untuk menulis buku apologetiknya yang terkenal, yaitu Sarim al-Mas’ul ‘alaSyatim ar-Rasul.[14]

Seusai menjalani hukuman penjara, pada tanggal 17 Sya’ban 695 H/ 1296 M, Ibnu Taimiyyah menjadi guru besar Madrasah Hanbaliyah, pusat pendidikan mazhab Hanbali yang tertua dan paling bergengsi di Damaskus. Karena besar pengaruhnya di tengah-tengah umat oleh Sultan al-Malik Mansur Lajin ia diminta dan ditugasi ikut menggerakkan umat untuk melakukan jihad fi sabilillah melawan kerajaan Armenia Kecil.[15] Prestasi Ibn Taimiyyah yang makin cemerlang dan mendapat simpati besar dari rakyat dan penguasa itu, ternyata menimbulkan kecemburuan dari setiap “Ulama” dan berusaha sedemikian rupa untuk menjatuhkan Ibn Taimiyyah.[16] Akibat terlalu banyak lawan, posisi Ibn Taimiyyah dari hari ke hari semakin goyah dan akhirnya tersingkirkan bahkan dia harus siap masuk dan keluar penjara.Pada usianya yang ke 51 tahun, tepatnya tahun 712 H/ 1313 M., Ibn Taimiyyah ditugasi berperang lagi di Yerussalem Palestina. Seusai perang dia kembali ke Damaskus unt uk menjadi Guru Besar Fiqih Islam dan oleh para pengikutnya diakui sebagai Mujtahid Mutlak.[17] Meskipun usianya bertambah tua dia tetap aktif dalam kancah perdebatan paham-paham keislaman. Berbagai macam bentuk hukuman yang telah berkali-kali menimpa dirinya tidak mampu menggeser keteguhan pendiriannya yang kuat dan tegar. Dia tidak pernah hadapan para ulama, para penguasa, dan sultan yang keras sekalipun, dia berkata : “Barang siapa menyakiti aku, maka aku halalkan dan barang siapa yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah-lah yang akan menghukum mereka, sedang aku tidak akan membalas dendam.”

  1. Masa Akhir Hayatnya

Setelah lima tahun Ibn Taimiyyah menikmati kebebasan dengan kegiatan mengajar dan menulis, akhirnya dia dipenjarakan kembali. Penyebab yang pokok adalah fatwa-fatwanya tentang larangan beraziarah kubur. Akan tetapi, fatwa itu oleh para ulama yang memusuhinya dipandang kontroversial dan meresahkan masyarakat sehingga pada tanggal 7 Sya’ban 726 H pemerintah menangkap dan memenjarakan Ibn Taimiyyah. Kemudian dia dipindahkan ke suatu benteng (Qal’ah) ditemani saudaranya atas izin sultan. Selanjutnya para pendukung dan para murid-muridnya juga diberi hukuman, ikut dimasukkan di penjara benteng tersebut[18]

Di Qal’ah Damaskus, Ibn Taimiyyah justru mendapatkan kedamaian dan keleluasaan untuk beribadah, membaca dan menelaah Qur’an serta menulis atau merevisi buku-bukunya. Di dalam penjara dia juga pernah menulis kritik dan sanggahan terhadap seorang Qadhi bermazhab Maliki di Mesir, yaitu Qadhi Abdullah ibn al-Akhna’i lewat ar-Risalah al-Akhna’iyyah yang dianggapnya tidak memiliki kemampuan sebagai seorang hakim. Kejadian tersebut dilaporkan kepada sultan dengan penuh kemarahan, dan musuh-musuhnya meminta dengan tegas agar sultan memenjarakannya lagi di benteng Damaskus. Namun dia pun terus mangarang hingga akhirnya, pena, tinta, dan kertasnya diambil darinya dan dia dilarang menulis lagi.[19]

Pada tanggal 9 Jumadi al-Akhir 728 H., atas nama pemerintah, semua alat baca dan tulis berikut buku-buku yang ada di kamar Ibn Taimiyyah dikeluarkan dan disita, kemudian pada awal bulan Rajab semuanya dikirim ke perpustakaan al-Adiyah al-Kubra, di antaranya 60 jilid kitab dan 14 buku tulis yang dipergunakan sebagai referensi dalam buku.

Bagi Ibn Taimiyyah dibanding hukuman lain hukuman pelarangan untuk membaca dan menulis agaknya dirasakan sebagai tekanan dan pukulan yang paling berat, oleh karena itu Ibn Taimiyyah jatuh sakit selama tiga minggu sampai akhirnya wafat pada malam 22 Dzu al-Qa’dah 728 H/ 26 atau 27 September 1328 M. dalam usia 67 tahun.[20] Kemudian seorang muadzin, Qala’ah, segera naik menara dengan terbata-bata mengumumkan kematian Ibn Taimiyyah. Dalam waktu yang relatif singkat berita tersebar merata ke seluruh pelosok dan masyarakat berduyun-duyun menuju dan memenuhi Qala’ah. Setelah selesai dishalati jenazah diusung manuju makam, yakni di al-Maqbarah al-Sufiyyah (makam orang-orang sufi) diiringi 300 ribu pelayat laki-laki dan 150 ribu pelayat perempuan. Akhirnya dia dikebumikan di sebelah kanan makam saudaranya, yaitu Syarif ad-Din Abd Allah.[21]

  1. .Murid dan Karya-karyanya

Di antara murid-murid Ibn Taimiyyah yang terkenal adalah Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah (w. 1325 M), Ibn Kasir (w. 1373 M), al-Hafizh al-Zahabi (w. 1348 M), Ibn Abd al-Hadi (w. 1344 M), dan Ibn al-Wardi (w. 1349 H).

Empat macam keistimewaan karya-karya Ibn Taimiyyah:

  1. Karya-karya Ibn Taimiyyah memberi kesan kepada pembacanya bahwa dia seorang yang sangat memahami tujuan-tujuan syariat dan ruh agama. Hal ini berkaitan dengan  penguasaannya yang mendalam tentang berbagai sisi dan dasar-dasar agama.
  2. Karya-karya Ibn Taimiyyah bagi pembacanya terasa hidup dan dinamis karena pada umumnya ditulis untuk merespon pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya ataupun dalam rangka mengkritisi suatu masalah yang berkembang.
  3. Karya-karya Ibn Taimiyyah juga terkesan pada isi dan penuh keseriusan. Hal ini bisa dilihat dari kebiasaannya yang selalu memberi rujukan bagi pandangan-pandangannya baik pada Qur’an, Hadits, maupun pendapat-pandapat para ulama khususnya ulama Salaf.

Karya-karya Ibn Taimiyyah pada umumnya ditulis dengan bahasa yang lugas dan tegas bahkan secara tidak sengaja berbau retorik hiperbolik.[22]

Di kalangan kalangan para peneliti terdapat silang pendapat mengenai jumlah karya-karya Ibn Tarmiyyah. Namun mereka memperkirakan kurang lebih berkisar antara 300 sampai 500 buah. Karya-karya tersebut meliputi berbagai disiplin ilmu keislaman seperti Ulum al-Qur’an, Ulum al-Hadits, Ushul Fiqh, Akhlak, Tasawuf, Teologi, Logika/Filsafat, Politik, dan lain sebagainya.

Di antara karya-karya pilihannya adalah sebagai berikut:

Majmu’ Fatawa, Majmu’at ar-Rasail wa al-Masail, Minhaj Sunnah an-Nabawiyyah fi Naqd Kalam al-Syi’ah wa al-Qadariyyah, Kitab an-Nubuwwah, al-Fatawaal-Hamawiyyah, al-Aqidah at-Tadammuriyyah, al-Furqan baina Auliyaar-Rahman wa Auliyaal-Syaithan, al-Jawab al-Shahih Liman BaddalaDin al-Masih, al-Shufiyah wa al-Fuqara, ar-Raad ‘alaal-Mantiqiyyin, Ma’arij al-Wusul ilaAnna Usul ad-Din wa furu’ahaqad Bayyanahaar-Rasul dan al-Siyasah as-Syar’iyyah fi Islah ar-Ra’i wa ar-Ra’iyyah.

B. BASIS DAN AKAR PEMIKIRAN IBN TAIMIYYAH

Faktor-faktor yang mempengaruhi sekaligus menjadi basis dan akar pemikiran Ibn Taimiyyah sbagai berikut:

1. Kondisi Sosial Dan Budaya

Kelahiran Ibn Taimiyyah pada pertengahan abad ke-7 H atau abad ke13 M dihadapkan pada berbagai kacam problem sosial budaya, utamanya bidang politik, sosial masyarakat, dan keagamaan. Hal itu menyebabkan masyarakat aislam pada saat itu manjadi terkotak-kotak oleh paham akidah, politik, prakti-praktik keagamaan dan lainnya serta masing-masing kelompok saling mengklaim sebagai yang paling benar berdasarkan argumen masing-masing. Akibatnya, menimbulkan permusuhan dan perpecahan. Kondisi ini merupakan salah satu faktor terbentuknya ide atau pemikiran Ibn Taimiyyah pada umumnya dan pemikiran tasawuf pada khususnya yang sangat ketat memegangi Syariat Islam yang murni (masa Salaf as-Shalihin) sehingga menamakan pandangan tasawufnya dengan istilah at-Tasawwuf al-Masyru’ (tasawuf yang disyariatkan) untuk membedakan dengan tasawuf lain yang dipandang telah terkontaminasi oleh unsus-unsur di luar Syariat Islam.

2. Manhaj Keberagamaan Salaf

Usaha pembaruan Ibn Taimiyyah pada awal abad ke-14 ditandai dengan upaya sadar untuk mempertahankan pandangan dan metode (manhaj) keberagamaan generasi awal Islam (tradisionalis klasik) yang biasa disebut al-Salaf al-Salihin. Kaidah-kaidah pokok manhaj (metode) Salaf sebagai berikut:

a. Mendahulukan syara’ daripada akal

Dalam memecahkan permasalahan-permasalahan keagamaan, manhaj salaf selalu mendahulukan syara’ (Qur’an dan Sunnah) daripada akal pikiran karena metode tersebut merupakan metode penarimaan (Manhaj al-Thalaqi) yang aplikatif dan operasional tanpa melakukan proses rasionalisasi dan intelektualisasi filosofis maupun intuisionalisasi sufistik.

b. Menolak penggunaan makna alegoris (Takwil)

Menurut sebagian Ulama Kalam apabila menjumpai ayat-ayat Qur’an yang dipandang bertentangan dengan Rasio, maka dilakukan Takwil (pemaknaan alegoris) atas nas. Yaitu mencari makna lain dari suatu nas tersebut yang dipandang bertentangan dengan akal. Akan tetapi Metode Salaf menolak takwil yang pemikian dan lebih memilih pendekatan atau pemahaman nas secara literal atau tekstual. Dalam pandangan Kaum Salaf, seluruh Qur’an adalah sudah jelas brdasarkan pernyataan Qur’an sendiri.

c. Berpegang pada dalil-dalil al_Qur’an

Dalam pandangan Kaum Salaf , Qur’an adalah kitab suci yang di dalamnya penuh petunjuk-petunjuk bagi manusia untuk menggunakannya sebagai dalil atau argumen dalam mencapai kebenaran. Mereka mencukupkan Qr’an di samping Sunnah untuk dijadikan pedoman dan petunjuk dalam memecahkan semua urusan.

3. Paham Keagamaan Literalis-Skriptualis

Untuk memahami pandangan keagamaan Literals-Skriptualis Ibn Taimiyyah dapat dilihat dari 3 hal sebagai berikut:

a. Pandangan tentang hakikat agama dan sumbernya

Menurut Ibn Taimiyyah, hakikat Islam adalah wahyu yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Adapun dasar-dasarnya yang paling pokok adalah: pertama, beribadah hanya kepada Allah semata. Kedua, beribadah hanya menurut aturan yang telah disyariatkan oleh-Nya, bukan dengan bid’ah-bid’ah.[23]

b. Pandangan tentang pemahaman sumber agama

Sebagai konsekuensi logis dari pandangan di atas, maka dalam pemahaman sumber agama atau nas-nas agama Ibn Taimiyyah termasuk tokoh literalis dan skriptualis yang ketat dalam memahami Qur’an dan Sunnah, utamanya dalam masalah akidah dan ibadah, kendati dalam masalah mu’amalah terlihat fleksibel atau luwes.[24]

c. Pandangan tentang relasi wahyu dan akal

Sejalan dengan pandangan-pandangan sebelumnya, maka dapat dipastikan bahwa dalam memahami soal-soal agama, Ibn Taimiyyah menempatkan posisi akal di bawah wahyu. Menurutnya fungsi akal terhadap wahyu hanyalah sebatas alat belaka untuk memahami nas-nas agama tanpa memiliki kewenangan menciptakan hal-hal baru karena agama datang secara sempurna dengan berbagai hal yang sudah nyata dan telah disertai dengan pembuktian-pembuktian yang telah jelas pula.

4. Pandangan Realis-Empiris

Dengan mengikuti padngan dan pemikiran keagamaan Ibn Taimiyyah maka menjadi semakin jelas corak pemikirannya yang empiris-realis. Ibn Taimiyyah banyak mengembangkan model pemikiran induktif  yang bertolak dari fakta-fakta konkrit dan empirik dalam memandang suatu hal. Sebaliknya dia menghindari pemikiran kaum filosof yang cendrung spekulatif.

C. USAHA PEMBAHARUAN DAN PENGARUHNYA

Menurut Abu al-Hasan Ali al-Husni al-Nadwi ada 4 macam prioritas sasaran pembaruan yang dilakukan Ibn Taimiyyah, yaitu:

1. Pembaruan bidang akidah-tauhid dan pemberantasan terhadap pandangan maupun praktik-praktik Poleteisme (Isyraq)

2. Pembaruan bidang metode pemahaman Islam atas dasar Qur’an dan Sunnah serta penolakan terhadap  metode pemahamn non Qur’an (filosof-spekulatif).

3. Pembaruan bidang disiplin ilmu-ilmu keislaman sebagai warisan budaya Islam.

4. Pembaruan dalam menghadapi pandangan atau kelompok non Islam.[25]

Prinsip-prinsip pembaruan Ibn Taimiyyah dalam realita sejarah banyak menjadi referensi para pembaru Islam sehingga makin meneguhkan posisinya sebagai seorang pembaru dalam arus sejarah pembaruan pemikiran Islam. Berikut beberapa tokoh pembaru dalam Islam yang langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh gerakan pembaruan Ibn Taimiyyah:

1.Muhammad ibn Abd al-Wahab (1703-1792 M)

2.Syaikh Waliyullah al-Dihlawiy (1703-1762 M)

3.Muhammad Abduh (1849-1905 M) dan Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M)

4.Ahmad Khan (1817-1897 M)

5.Muhammad ibn Ali as-Sanusi (1787-1859 M)

6.Para pambaru di Indonesia

D. KOMENTAR

Dari penjelasan yang panjang lebar di atas dapat diketahui bahwasanya Ibn Taimiyyah adalah seorang tokoh yang sangat menjunjung tinggi agama Islam yang didasarkan atas Qur’an dan Hadits. Ide atau pemikiran-pemikirannya sangat cemerlang yang mana semua itu bertujuan untuk memajukan Islam. Hanya saja caranya yang berbeda dengan Ulama-ulama lainnya sehingga dia dipandang kontroversial dan meresahkan masyarakat, oleh sebab itu sebagian para ulama ada yang memusuhinya. Meskipun demikian, Ibn Taimiyyah tetap memiliki banyak pengikut. Dia juga melakukan gerakan pembaruan dan pemurnian Islam dengan jargon “kembali pada Qur’an dan Sunnah” dan “membuka kembali pintu ijtihad”. Dan gerakan pembaruan dan pemurniannya tersebut banyak dijadikan referensi oleh para pembaru Islam sesudah

DAFTAR PUSAKA

Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, Surabaya: Temprina Media Grafika, 2007.

ibn Ali al-Syaukani, Muhammad, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar,Beirut: Dar al-Jail, 1995.

Abu Zahrah, Muhammad, Ibn Taimiyyah Hayatuh wa Asruh wa ‘Ara’uh wa Fiqhuh, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.

ash-Shiddiqie, Hasbi, Pengantar Hukum Islam,Jakarta: Bulan Bintang, 1963.

Muhammad, Sa’ad Sadiq, Ibn Taimiyyah Imam al-Saif wa al-Qalam, Kairo: al-Majlis al-A’lali al-Syu’un al-Islamiyah, t.th.

al-Salam, Hafizh Hasyim Abd ,  al-Imam Ibn Taimiyyah, Mesir: Mustafa Bab al-Halabi, 1969.

al-Maraghi, Abdullah Mustafa, al-Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Usuliyyin,Beirut: Muhammad Amin Rawaj Syarakah, 1974.

[1] Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1995), h. 11 – 12.

[1] B. Lewis et. al. (ed), The Encyclopedia of  Islam, Jilid III, (Leiden: E.J. Brill, 1979), h. 951.

[1] Salih ibn Abd al-Aziz Ali Mansur, Ushul al-Fifh wa Ibn Taimiyyah, Juz I, (t.tp.:, 1980), h. 80 – 81.

[1]Ibid, h. 82 – 82 dan 84 – 85.

[1] Muhammad Abu Zahrah, Op., Cit, h. 111.

[1] Muhammad Khalil Haras, Ibn Taimiyyah as-Salafi Naqduhu li Masalik al-Mutakallimin wa al-Falasifah fi al-Ilahiyat, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1984), h. 26.

[1] Thomas Michel S. J. Ibn Taimiyyah, Alam Pikirannya dan Pengaruhnya di Dunia Islam, dalam Orientasi Th. XV, Nomor 253, 1983, h. 175.

[1] B. Lewis, et. all, Loc-Cit.

[1] QAmaruddin Khan, Op.cit, h. 46.

[1] Ibn Taimiyyah, Pokok-pokok Pedoman Islam dalam Bernegara, Terj. Firdaus A.N, (Bandung: Diponegoro, 1960), h.16.

[1] Abu al-Hasan “Ali al-Husain al-Nadwi, Op.xit, hal. 107-208.

[1] Thomas Michel S.J., Op.ci. h. 176.

[1] Ibid, h. 111-112.

[1] Ibid, h. 114-117.

[1] Abu al-Hasan Ali al-Khusni al-Nadwi, “Rijal al-Fikr wa al-Dakwah fi al-Islam, (Kuwait: Dar al-Kalam, 1983), h. 133-135.

[1] Ibn Taimiyyah, Qaidah Jalilah fi al-Tasawuf wa al-Wasilah, (Beirut-Libanon: al-Maktab al-Islamiy, 1970), h. 5 dan 21.

[1] Ibn Taimiyyah, Manhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah li Naqd Kalam wa al-Qadariyyah, Jilid II, (Beirut: Dar al-Kutub al Islamiyyah, t.t.), h. 223.

[1] Abu al-Hasan Ali al-Husein al-Nadwi, op.cit., h. 171.


[1] Muhammad ibn Ali al-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar, Juz I (Beirut: Dar al-Jail, 1995, h.4 – 5.

[2] Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taimiyyah Hayatuh wa Asruh wa ‘Ara’uh wa Fiqhuh, (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.) h. 148 – 153.

[3] Hasbi ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1963), h. 65 – 66.

[4] Sa’ad Sadiq Muhammad, Ibn Taimiyyah Imam al-Saif wa al-Qalam, (Kairo: al-Majlis al-A’lali al-Syu’un al-Islamiyah, t.th.), h. 10.

[5] Muhammad Abu Zahrah, Op.cit, h. 20.

6Abd al-Salam Hafizh Hasyim,  al-Imam Ibn Taimiyyah, (Mesir: Mustafa Bab al-Halabi, 1969), h. 8.

[7] Abdullah Mustafa al-Maraghi, al-Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Usuliyyin, Juz III, (Beirut: Muhammad Amin Rawaj Syarakah, 1974), h. 158.

[8] Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1995), h. 11 – 12.

[9] B. Lewis et. al. (ed), The Encyclopedia of  Islam, Jilid III, (Leiden: E.J. Brill, 1979), h. 951.

[10] Salih ibn Abd al-Aziz Ali Mansur, Ushul al-Fifh wa Ibn Taimiyyah, Juz I, (t.tp.:, 1980), h. 80 – 81.

[11]Ibid, h. 82 – 82 dan 84 – 85.

[12] Muhammad Abu Zahrah, Op., Cit, h. 111.

[13] Muhammad Khalil Haras, Ibn Taimiyyah as-Salafi Naqduhu li Masalik al-Mutakallimin wa al-Falasifah fi al-Ilahiyat, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1984), h. 26.

[14] Thomas Michel S. J. Ibn Taimiyyah, Alam Pikirannya dan Pengaruhnya di Dunia Islam, dalam Orientasi Th. XV, Nomor 253, 1983, h. 175.

[15] B. Lewis, et. all, Loc-Cit.

[16] QAmaruddin Khan, Op.cit, h. 46.

[17] Ibn Taimiyyah, Pokok-pokok Pedoman Islam dalam Bernegara, Terj. Firdaus A.N, (Bandung: Diponegoro, 1960), h.16.

[18] Abu al-Hasan “Ali al-Husain al-Nadwi, Op.xit, hal. 107-208.

[19] Thomas Michel S.J., Op.ci. h. 176.

[20] Ibid, h. 111-112.

[21] Ibid, h. 114-117.

[22] Abu al-Hasan Ali al-Khusni al-Nadwi, “Rijal al-Fikr wa al-Dakwah fi al-Islam, (Kuwait: Dar al-Kalam, 1983), h. 133-135.

[23] Ibn Taimiyyah, Qaidah Jalilah fi al-Tasawuf wa al-Wasilah, (Beirut-Libanon: al-Maktab al-Islamiy, 1970), h. 5 dan 21.

[24] Ibn Taimiyyah, Manhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah li Naqd Kalam wa al-Qadariyyah, Jilid II, (Beirut: Dar al-Kutub al Islamiyyah, t.t.), h. 223.

[25] Abu al-Hasan Ali al-Husein al-Nadwi, op.cit., h. 171.

From → Uncategorized

Leave a Comment

Leave a comment